Monday, October 15, 2018

BERAU

Berau. 

Mungkin, itulah kata yang pertama kali yang aku tulis. Hehehe...

Aku cukup bingung sebenarnya bagaimana memulai cerita tentang Berau. Eksotisme, keindahan, keramahan, dan yang paling penting tak pernah terlupakan, nostalgia 18 tahun lalu yang cukup membekas dalam ingatanku. Mungkin ada baiknya kalau aku mulai dari awal hingga apa yang kudapat di sana.


Memulai cerita dinasku di sana, tidak terlepas dari apa yang namanya latihan, latihan, serta tugas. Sempat ditugaskan sementara di partner perusahaan, aku kembali ke Triputra untuk melanjutkan kontrak magangku di sana. Cukup welcome bagiku ketika aku kembali, disambut Pak Yanes dan seluruh karyawan di sana. But, that's not mean I'm free again and do not anything. Ada satu hal yang mungkin membuatku cukup senang dan bisa dibilang this is good oppotunity for my self. Penugasan Cycle 1 ke Berau untuk melakukan implementasi SAP.

Aku pikir, this is good opportunity dan harus aku ambil kesempatan itu. Ditambah lagi, rute ke Berau adalah melewati kota yang sebenarnya ingin sekali aku singgah di sana. Bisa saja, selesai dari sana, aku mampir di Balikpapan sebentar, hanya sekedar untuk nostalgia, menikmati suasana di sana, bertemu saudaraku di sana, dan yang lebih penting, aku bisa reuni sebentar dengan teman-temanku di sana. But, apa yang aku rencanakan sepertinya mustahil bisa ku lakukan karena satu hal. Ya, statusku yang masih magang dan masih dalam pengawasan pihak kampus dan kantor yang terkait. Jika ada sesuatu yang terjadi padaku, maka nama atasanku lah taruhannya. Mungkin, aku hanya bisa berdoa dan berharap agar diberi jalan keluar.

Sehari sebelum keberangkatan, aku cukup dibuat gundah. Tidak tenang, tidur tidak nyenyak, dan bahkan yang lebih menakutkan adalah kesiangan hingga ketinggalan penerbangan pagi. Tapi, semua itu hanya pikiranku saja dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Hanya doa dan harapan yang bisa kupanjatkan agar semuanya diberi kelancaran serta kemudahan mulai besok pagi hingga semuanya selesai.

Pagi buta saat kota masih lelap tertidur, aku berangkat dari rumah menuju ke bandara. Berbekal doa dari keluargaku, darah semangat mengalir deras di dalam tubuhku. Sepanjang perjalanan menuju ke bandara, tetap ku berdoa agar semuanya lancar dan selamat hingga bisa kembali pulang tanpa ada hambatan apapun.

Menggunakan maskapai Lion Air, aku bersama tim bertolak dari Bandara Soekarno Hatta menuju ke Berau untuk memulai tugas kami. Singgah sementara di Sepinggan selama 2 jam, kami berlanjut dari Sepinggan menuju ke Kalimarau sebagai destinasi terakhir kami. Menyusuri langit angkasa dengan hiasan laut biru di bawahnya, akhirnya kami tiba juga di Berau. Rasa syukur aku panjatkan. Namun, perjalanan belum usai. Kami harus melanjutkan perjalanan lagi untuk tiba di kantor tempat kami akan bertugas.

Melihat Berau pertama kali, seperti melihat suasana daerah Palaran tempo dulu. Daerah seberang dari Kota Samarinda ini memiliki suasana persis ketika aku melewati jalan jalan di Berau. Sungai sungai yang damai nan ramai, rumah bedeng nan sederhana, suasana jalanan yang cukup tertib, dan semua itulah yang kuberitahukan pada ibuku setelah sampai di sana.

Kalau mungkin sekelas orang kota ketika tiba di kampung masih menggunakan logat kota besar, itu tidak berlaku bagi diriku yang pernah tinggal di Kalimantan. 8 tahun lebih aku pernah tinggal di sana, beberapa logat kalimantaku aku keluarkan di sana.

Apakah aku canggung?

Apakah aku malu ketika ditertawakan karena logatku tersebut?

Tidak!!!

Aku justru bangga dan senang bisa kembali ke tanah yang sudah membesarkanku. Walau bukan Balikpapan, tapi Berau tetap luar biasa. Ketika ku bicara dengan supir menggunakan logat timur, maka aku akan membalasnya dengan logat timur. Jika memanggil orang dengan sebutan Pakde, Bukde, Mas atau Mbak dengan khas Jawa, maka kuganti mereka dengan panggilan Acil dan juga Kaka dengan khas sana. Tak lupa, imbuhan nah dan kah, serta sedikit Bahasa Banjar dan Balikpapan kekinian, aku selipkan dalam percakapan dengan masyarakat di sana. Semua itu membuatku cukup senang merasakan masa lalu di sana.

Namun, cerita sebenarnya di mulai saat aku tiba di PT. Natura Pacific Nusantara atau yang sering dikenal dengan NPN, anak perusahaan dari TAP tempat aku bekerja. Bersama tim, kami menginap di rumah bedeng yang sederhana dan nyaman. Menjelang matahari terbit dari ufuk timur, kami melakukan apel pagi bersama karyawan NPN seraya memperkenalkan diri dan tujuan kami datang. Memasuki pukul 08:00 WITA, kami memulai kegiatan kami serta tugas kami di sana.

Cukup aneh rasanya bagiku apabila aku mencoba untuk berbicara bersama mereka namun lidahku masih terasa kaku untuk beradaptasi dengan logat sana. Maklum, sudah lama bagiku pergi meninggalkan Kalimantan dan tinggal di Jakarta dengan waktu yang cukup lama. But, it's not problem for me cause I still have a friend from Balikpapan and we are still communicate. Itulah mengapa aku cukup mudah menguasai logat sana walau masih terasa susah untuk beradaptasi.

Jauh dari hal tsb, saat aku memulai untuk mendata masyarakat yang bekerja di sana untuk kepentingan tugas, logat timurku mulai bermain dengan kata-kata.

"Sudah Mama. Nanti saya punya muka putih tidak ada yang mengenal."

"Mama tidak ada KTP, kah?"

"Hati-hati Kaka..."

"Sini anak. Naik sudah itu."

Dan, berbagai macam logat timur yang kuucapkan, membuat aku cukup nyaman dan senang bagaimana bisa bersosialisasi dan mengenal kehidupan masyarakat di sana dengan luas.

Menikmati pesona lingkungan di NPN, cukup jauh rasanya dari hiruk pikuk Kota Jakarta yang terkenal akan macet di tiap hari kerja. Alam dan sejuknya udara pagi Kota Berau bagai surga yang turun dari langit. Unik bagiku bila ku bercerita tentang jam 5 pagiku yang sangat istimewa. Dimulai dari apel pagi, menyusuri jalan setapak menggunakan motor trill, hingga berangkat menuju afdeling terjauh di saat langit masih gelap dan aktivitas perkebunan belum mulai. Semuanya terasa cukup istimewa bagiku. Belum lagi ku bercerita bagaimana saat aku menyusuri jalan bebatuan tanpa aspal, jalan yang mendaki dan menukik secara curam, dan saat malam tiba atau pagi masih buta, lampu penerangan jalan tidak tersedia di sana. Itu semua merupakan pengalaman luar biasa bagiku. Suasana sejuk, dingin dan alami di sana serta gemerlapnya bintang-bintang malam hari, merupakan pelengkap bagaimana aku menikmati suasana alam ala Kota Berau.

Cerita keseruanku tentang Berau masih terus berlanjut kala maghrib telah datang. Saat itu, satu-satunya masjid terdekat yang bisa kujadikan ibadah berada di seberang dari rumah bedeng tempat aku menginap. Dan saat azan itu berkumandang, aku bergegas menuju ke masjid untuk melaksanakan sholat maghrib berjamaah di sana.

Sederhana namun begitu nyaman. Mungkin itulah yang bisa kukatakan tentang kondisi masjid di sana. Aku sering mendengar cerita ibuku dimana saat ibuku masih kecil, ibuku sering mengaji bersama teman-temannya di sebuah masjid sederhana. Dan sepertinya, masjid tempat aku sholat saat itu adalah masjid yang pernah ibuku ceritakan kepadaku. Terbuat dari kayu bangunan dan beralaskan lantai bukan keramik, aku merasakan bagaimana nikmatnya beribadah seperti yang diceritakan oleh ibuku. Aku menikmati bagaimana bersihnya kamar mandi dan tempat wudu, serta suasana solat berjamaah yang cukup berbeda saat aku di kota. Semua terasa begitu comfortable. Walau tidak seramai seperti masjid di kota pada umumnya, tapi aku cukup menikmatinya.

Memulai kegiatan solat maghrib di sana, aku diminta menjadi seorang imam untuk solat maghrib tersebut. Setelah kegiatan solat selesai, bukannya aku kembali ke penginapan untuk makan malam di sana, melainkan aku memperpanjang waktuku di masjid karena suasana sejuk nan dingin yang kurasakan. Tidak hanya itu, pemandangan menarik yang cukup membuatku terus membekas akan cerita ini adalah bagaimana semangatnya anak-anak di sana dalam belajar mengaji walau keterbatasan fasilitas. Mereka melakukannya dengan semangat dan juga tekun. Aku jadi ingat bagaimana masa laluku ketika aku sama seperti mereka. Belajar bagaimana "alim lam mim" itu dilafazkan dan juga dibentuk melalui tulisan. Cerita ku semakin bertambah dan berlanjut saat aku diberi kesempatan untuk mengajar mereka. And, it's like nostalgic. Walau ada saja tingkah mereka yang lucu, tapi itu menjadi kesan tersendiri untukku. Selain aku mengajari mereka mengaji, tak ketinggalan juga seorang bapak penjaga mesjid yang sering menjadi guru mengaji mereka, meminta aku mengajari beliau. Beliau bernama Pak Legino, seorang karyawan NPN yang sehari-hari bermain dalam dunia bengkel di sana. Beliau suka bertanya padaku tentang masalah agama, entah apakah itu tentang bacaan Quran, maupun tafsir Quran. Dan juga, di luar itu kami suka berdiskusi dan bertukar cerita mengenai kehidupan di kebun dan juga di kota. Semua itu menjadi cerita yang berkesan buat aku pribadi.


Puncak dari cerita ini adalah bagaimana suasana pesta rakyat yang begitu luar biasa dikala seluruh pekerja, baik yang bekerja di kebun maupun yang bekerja di kantor besar mendapat gaji atas kerja keras mereka selama sebulan. Tertanggal 9 Agustus 2018, seluruh pekerja  berbondong-bondong mendatangi kantor besar hanya untuk menerima upah mereka. Antusiasme yang luar biasa serta raut bahagia dari wajah mereka tertampak kala mereka akhirnya mendapat hasil dari keringat kerja keras mereka. Belum usai sampai disitu, kebahagiaan mereka terus berlanjut hingga mereka juga bisa membeli barang-barang keperluan mereka. Ya, pasar malam adalah hiburan mereka kala gajian itu datang. Ramai, riuh, serta senang dan gembira terpancar dari muka mereka. Akupun tidak melewatkan momen ini karena menurutku, ini adalah momen langka. Ditambah lagi, suasana pasar malam antara di kota dan di kebun cukup berbeda. Jikalau di kota suasananya meriah namun terkesan biasa saja karena pasti tiap minggu malam/ malam minggu selalu ada, berbeda halnya dengan di kebun. Pesta itu hanya berlangsung sekali dalam sebulan dan itu hanya ada pada tanggal gajian mereka. Jadi tidak wajar, jika semua merasa cukup senang apalagi diriku sendiri. Aku sendiri juga terbawa suasana meriahnya pasar malam tersebut hingga akupun mengabadikan meriahnya ke dalam kamera kecilku maupun smartphone untuk kenang-kenangan di sana.

Dan akhirnya, kenang-kenangan itulah merupakan bagaimana cerita luar biasaku di Berau selama seminggu. Cukup begitu fantastis dan tak akan pernah aku lupakan hingga kapanpun.

Sangat berkesan rasanya bagaimana bisa menikmati Kota Berau walau cuman seminggu. Banyak cerita menarik yang ku dapat  di sana yang aku ceritakan pada kertas ini. Terlebih lagi, satu-satunya yang berkesan bagiku adalah salah satu anak yang bernama Harto adalah cerminan masa laluku dan banyak hal yang kulewati bersama dia di sana. Saat senja akan tiba, Harto sering mengajakku untuk bermain bola dan meminta padaku untuk mengajarinya cara bermain bola. Saat selesai sholat maghrib, dialah juga anak yang paling usil saat mengaji denganku. Tapi, aku cukup terhibur karena Harto mampu dekat dengan teman-temannya. Sama seperti aku dulu saat aku sering bermain dengan teman-teman rumahku dan juga sekolahku. Dan, sebab itu pulalah aku relakan baju Persiba pemberian kakak sepupuku, ku jadikan hadiah kenang-kenangan untuknya. Aku berharap, dia senang dan semangat untuk mengejar apa yang dicita-citakannya.

Seperti itulah mungkin, sedikit cerita bagaimana aku menikmati Kota Berau walau hanya seminggu. Banyak hal yang kupelajari di sana, dan banyak hal juga yang kuhabiskan waktuku di sana. Walau terasa tidak seperti Kota Balikpapan yang aku lewati, tetapi cukup bagiku untuk menikmati masa masa indahku di sana. Dan Berau adalah tempat istimewa yang tidak pernah aku lupakan.





Jauh dari kata sosialita dan ajang pamer harta, Berau adalah tempat untuk aku melepaskan semua hal yang menurutku sudah lama aku pendam. Dan, seperti itulah sedikit cerita yang telah aku lewati hingga di atas pesawat ini.

Dari dalam pesawat yang melintasi angkasa biru ini, aku tuliskan semua cerita dan secercah harapan untuk semua orang yang sudah menyambutku dengan tangan terbuka. Walau aku pikir bisa saja itu adalah pertemuan pertama dan terakhir kita , aku harap kalian semua tetap sehat wal afiat dan terus dalam lindungan Allah SWT dalam situasi apapun. Terima kasih atas segala hal yang sudah kalian bagikan kepadaku, dan terima kasih juga atas keterbukaan kalian akan kedatanganku. Aku berharap, kita akan bertemu kembali di lain waktu di tempat yang berbeda dengan cerita yang baru.


TERIMA KASIH BERAU...

😊😊😊

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger